Dari Tambang Ke Meja Sidang: Konflik Kepentingan Pada Korupsi Timah

 Oleh : Salman Anshori (10122015)

Dosen Pengampu : Asep Imroni, S.H., M.H

Mata Kuliah : Pancasila

Kasus korupsi tata niaga timah yang melibatkan Harvey Moeis menjadi salah satu contoh paling nyata tentang bagaimana kekuasaan ekonomi dapat berkelindan dengan jaringan bisnis ilegal, hingga pada akhirnya merugikan negara dalam jumlah yang sulit dibayangkan. Dalam putusan tingkat banding, Harvey dijatuhi hukuman 20 tahun penjara dan diwajibkan membayar uang pengganti Rp 420 miliar, jumlah yang meningkat signifikan dibanding putusan sebelumnya. Majelis hakim menyatakan bahwa Harvey bukan sekadar peserta pasif, melainkan aktor sentral yang mengatur arus perdagangan timah ilegal dengan memanfaatkan jejaring perusahaan dan penambang (CNN Indonesia, 2025).

Kejahatan ini tidak hanya menyangkut praktik manipulasi administrasi atau penyalahgunaan dokumen, tetapi melibatkan sebuah jaringan tata niaga yang bekerja secara sistematis. Harvey berperan sebagai penghubung antara penambang ilegal, perusahaan smelter, hingga perusahaan-perusahaan cangkang yang menjadi sarana untuk memutihkan hasil timah ilegal. Seluruh skema dijalankan dalam ruang gelap, jauh dari regulasi pemerintah dan pengawasan publik.

Dampaknya bukan sekadar kerugian fiskal. Menurut data persidangan, kerugian negara mencapai Rp 300 triliun, termasuk Rp 271 triliun kerusakan lingkungan yang muncul dari tambang ilegal yang tidak memiliki standar keselamatan dan keberlanjutan (Metrotvnews, 2025). Wilayah tambang di Bangka Belitung mengalami degradasi tanah, pencemaran air, hilangnya keanekaragaman hayati, dan hilangnya lahan produktif milik masyarakat. Semua ini merupakan “biaya sosial” yang tidak pernah dipertimbangkan dalam keputusan-keputusan pelaku kejahatan.

Kasus ini juga menyita perhatian publik karena turut menyeret nama-nama publik figur, termasuk penyitaan aset yang terkait dengan keluarga Harvey, seperti aset atas nama istrinya, Sandra Dewi (Kompas, 2025). Langkah penyitaan ini menjadi pesan bahwa negara berupaya memastikan pemulihan kerugian negara dilakukan hingga tuntas.

Dalam proses persidangan, hakim menyebut bahwa tindakan Harvey dilakukan “secara terstruktur, masif, dan berlangsung selama bertahun-tahun,” dan karena itu “menyakiti hati rakyat” di tengah situasi ekonomi masyarakat yang rapuh (detikNews, 2025). Skala dan dampak kejahatan ini membuat kasus Harvey dipandang sebagai salah satu bentuk kejahatan luar biasa dalam konteks korupsi sumber daya alam.

Pengambilan keputusan yang dilakukan Harvey dan jaringannya menunjukkan pola kekuasaan yang kehilangan arah etis. Keputusan diambil berdasarkan pertimbangan keuntungan pribadi dan kepentingan kelompok tertentu, bukan pertimbangan moral, hukum, atau dampak sosial jangka panjang. Dari perspektif tata kelola publik, keputusan ini bahkan bertolak belakang dengan prinsip good governance yang mengharuskan transparansi, akuntabilitas, dan pengawasan.

Keputusan-keputusan yang diambil tidak hanya mencerminkan kesenjangan nilai antara kepentingan pribadi dan kepentingan publik, tetapi juga menggambarkan bagaimana korupsi menciptakan “ruang kuasa” baru yang bekerja di luar sistem formal negara. Dalam kasus ini, keputusan bisnis yang semestinya tunduk pada hukum justru dikelola dengan mekanisme informal yang mengabaikan hak-hak masyarakat sekitar tambang.

Tidak adanya mekanisme musyawarah, konsultasi publik, ataupun pertimbangan moral membuat keputusan-keputusan tersebut merugikan masyarakat dalam jangka panjang. Kerusakan lingkungan, hilangnya pendapatan masyarakat, dan potensi konflik sosial adalah konsekuensi dari keputusan yang tidak pernah mempertimbangkan kepentingan rakyat.

Kasus Harvey Moeis memasuki sorotan publik ketika pada 23 Desember 2024 Pengadilan Tipikor Jakarta menjatuhkan putusan yang menyatakan ia terbukti terlibat dalam korupsi dan pencucian uang terkait tata niaga timah. Dalam putusan tingkat pertama ini, Harvey dijatuhi hukuman 6 tahun 6 bulan penjara, denda Rp 1 miliar, dan kewajiban membayar uang pengganti Rp 210 miliar. Hakim menilai tindak pidana ini diperberat oleh konteks nasional yang sedang gencar memberantas korupsi, meski beberapa hal meringankan—seperti sikap sopan dan belum pernah dihukum—turut dipertimbangkan. Harvey diwajibkan melunasi uang pengganti dalam satu tahun setelah putusan inkrah, atau menghadapi tambahan dua tahun penjara.

Namun situasi berubah drastis pada tingkat banding. Pengadilan Tinggi DKI Jakarta memperberat hukuman menjadi 20 tahun penjara dan menaikkan uang pengganti menjadi Rp 420 miliar. Dalam pertimbangannya, majelis hakim menyebut Harvey sebagai “aktor penting” dalam jaringan ilegal yang menghubungkan penambang tanpa izin, perusahaan smelter, dan sejumlah perusahaan cangkang yang dipakai sebagai alat dalam skema korupsi timah. Putusan ini menegaskan bahwa peran Harvey bukan sekadar ikut serta, tetapi berada di jantung operasi yang merugikan negara secara besar-besaran.


 Analisis dari Sila Ke-4 "Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan"

Sila ke-4 pada dasarnya menuntut mekanisme pengambilan keputusan yang partisipatif, representatif, dan bijaksana. Namun, kasus Harvey mencerminkan absennya seluruh prinsip tersebut. Tidak ada musyawarah, tidak ada dialog dengan masyarakat, dan tidak ada nilai kebijaksanaan yang dihadirkan dalam proses pengelolaan sumber daya alam.

Dalam konteks pengelolaan timah, yang merupakan kekayaan negara dan menyangkut kehidupan masyarakat Bangka Belitung, seharusnya terdapat mekanisme konsultatif yang melibatkan pemerintah lokal, masyarakat adat, pelaku usaha, dan lembaga perwakilan rakyat. Namun, apa yang terjadi justru sebaliknya: keputusan terkait peredaran timah dikendalikan oleh kelompok kecil dengan kepentingan terbatas.

Dominasi keputusan oleh satu pihak—tanpa akuntabilitas dan tanpa mempertimbangkan suara rakyat—adalah bentuk pelanggaran nyata terhadap nilai Sila ke-4. Dalam persidangan, hakim bahkan menyiratkan bahwa keputusan Harvey telah mengabaikan aspek moral dan prinsip kebijaksanaan publik (CNN Indonesia, 2025). Tidak adanya ruang deliberatif membuat keputusan tersebut tidak hanya keliru secara hukum, tetapi juga secara etis.

Dengan demikian, kasus Harvey menjadi bukti bahwa ketika nilai musyawarah hilang, keputusan yang lahir akan mengarah pada penyalahgunaan kekuasaan dan mengorbankan hak-hak masyarakat yang lebih luas.

Analisis dari Sila ke-5 "Keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia" 

Sila ke-5 menuntut adanya keadilan yang dapat dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat, baik secara ekonomi, hukum, maupun sosial. Namun, praktik korupsi yang dilakukan Harvey Moeis justru menimbulkan ketidakadilan multidimensional.

Secara ekonomi, keuntungan dari praktik ilegal ini hanya dinikmati oleh pelaku dan jaringannya, sementara negara dan masyarakat kehilangan potensi pendapatan yang sangat besar. Secara hukum, korupsi jenis ini memperlihatkan ketimpangan: aktor dengan modal ekonomi dan jaringan besar dapat merusak sistem dari dalam. Secara sosial, masyarakat lokal menghadapi dampak langsung berupa hilangnya lahan, rusaknya lingkungan hidup, dan menurunnya kualitas kesehatan.

Kerusakan lingkungan menjadi bentuk ketidakadilan ekologis yang paling berat. Lahan bekas tambang yang terbengkalai, air sungai yang tercemar, dan habitat yang rusak adalah warisan buruk bagi generasi mendatang. Semua ini bertentangan dengan prinsip keadilan sosial yang menekankan distribusi manfaat dan beban secara setara.

Majelis hakim menilai bahwa pelanggaran ini tidak hanya merugikan negara secara fiskal, tetapi juga merusak rasa keadilan rakyat. Nilai-nilai Sila ke-5 pada akhirnya terabaikan karena keputusan-keputusan yang dibuat lebih mengutamakan keuntungan jangka pendek bagi kelompok tertentu.


Rekomendasi Perbaikan Berbasis Nilai Pancasila

1. Memperkuat Transparansi dan Akses Publik terhadap Data Sumber Daya Alam

Pemerintah perlu menyediakan akses terbuka terhadap seluruh informasi mengenai izin pertambangan, produksi, distribusi, dan ekspor timah. Transparansi dapat mengurangi celah manipulasi dan menjadi mekanisme pengawasan publik sesuai nilai musyawarah dalam Sila ke-4.

2. Penegakan Hukum yang Konsisten dan Berorientasi Pemulihan

Korupsi SDA harus ditindak dengan hukuman tegas disertai pemulihan lingkungan dan pengembalian kerugian negara. Penegakan hukum yang berkeadilan merupakan bagian dari implementasi Sila ke-5.

3. Penguatan Integritas Pelaku Usaha dan Aparatur Negara

Diperlukan program pembinaan integritas di sektor pertambangan untuk memastikan bahwa keputusan yang diambil didasarkan pada etika publik dan bukan pada tekanan atau kolusi.

4. Memperluas Partisipasi Masyarakat Lokal dalam Penerbitan Izin

Kebijakan pertambangan harus melibatkan masyarakat lokal secara formal agar suara mereka didengar. Musyawarah yang inklusif akan memperkuat prinsip Sila ke-4 dan mencegah dominasi kepentingan individu.

5. Digitalisasi dan Sistem Pengawasan Real-Time

Teknologi dapat menjadi alat penting untuk mencegah manipulasi data produksi dan distribusi. Sistem digital real-time yang terintegrasi dapat menjadi solusi jangka panjang.

 

Postingan populer dari blog ini

Perkuliahan Manajemen Ekspor Impor